Mei 22, 2012

Kobaran Hati


Kilauan cahaya
Membersitkan sejuta sinar  terurai yang kerap membutakan mata, memekakkan telinga
Namun terkadang ia bermetamorfosa menjadi sebuah zamrut penuh pesona
Tampil tanpa tabir di hadapan dunia
Biarkan hidup menerbitkan makna
Biarkan rasa mencerminkan gelora jiwa
Sepanas bara saat berkobar menjelma menjadi api
Segiras semangat diri merajut kobaran hati
***
“Kak Rasti berangkat aja duluan! Nanti biar Restu aja yang nganter dagangan ke rumah bang Juki.”
Wajah Rasti terlihat cerah seketika. Dia tersenyum menatap Restu. Tak disangka olehnya, adik satu-satunyaitu  akan menawarinya bantuan.

“Yang bener, de’? Kamu ga bohong,kan?”
“Ya ga lah, kak Masa Restu bohong,sih?”, kata Restu sambil menyusun es-es lilin kedalam termos. ”Restu kan tahu, kalo sekolah kakak favorit. Pengawasan dan tingkat kedisiplinannya juga ketat. Kalo kakak terlambat bisa-bisa dikeluarin dari sekolah. Terus? Gawat banget kan kalo kakak kehilangan beasiswa berprestasi hanya gara-gara hal itu?! Jangan sampai, deh! Restu kan juga kasihan sama kakak. Semaleman kakak udah kerja lembur bungkusin es lilin pesenan bang Juki. Jadi biar Restu aja yang nganter es-nya.”, lanjutnya. Sementara Rasti hanya bisa mendengarkan perkataan panjang lebar dari adiknya sambil merapikan seragam yang dikenakannya dan memakai kerudung untuk segera berangkat ke sekolah.
“Makasih banget ya, Restu sayang…”, kata Rasti. ”Oh ya, ayah dan ibu udah berangkat kerja?”
“Ya udah dong, kak. Dari tadi.”
Rasti mengambil tas dan mencangklongnya.
“Ya udah, kakak berangkat dulu, ya?! Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam.”
Rasti mengambil sepeda ontelnya, Steffanie. Rasti mulai mengayuhnya menuju sekolahnya, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya.

***


Rasti memarkirkan Steffanie di parkiran sekolahnya, SMA Tunas Bangsa. Ia tersenyum sendiri. Diantara yang lainnya, Steffanie adalah sepeda ontel satu-satunya di parkiran itu. Padahal mayoritas yang terparkir disana adalah sepeda motor, bahkan mobil. Mulai dari mobil-mobil yang biasa saja hingga mobil-mobil pabrikan ternama. Dari McLaren, Ferrari sampai Ford, semua ada di parkiran itu.
Tak heran, banyak teman-teman sebayanya yang menertawakan dirinya dan Steffanie. Bukan hanya karena Steffanie satu-satunya sepeda ontel di sekolah itu, tapi juga sepeda ontel yang dikatakan “sepeda kuno plus rendahan” oleh siswa-siswi yang katanya  anak-anak orang intelek itu diberi nama se-beken “Steffanie” oleh pemiliknya. Seluruh sekolah juga tahu kalau “Steffanie” adalah sepeda ontel milik Rasti.
Meskipun tak jarang mendapat cercaan dan hinaan dari teman-temannya, Rasti tidak pernah peduli dengan itu semua. Yang dia tahu dan pahami, Steffanie telah menemani perjalanan hidupnya selama ini. Sejak SMP, Steffanie selalu menemaninya ke sekolah dan berjualan es. Rasti berharap Steffanie akan menjadi saksi abadi dari kerja keras dan perjalanan hidupnya selama ini. Dia harus berjuang mati-matian untuk meraih manisnya kesuksesan. ”Hidup adalah perjuangan”, seperti kata-kata politikus yang akhir-akhir ini kerap muncul di layar kaca televisi hitam putih milik keluarganya. Bagaimanapun Steffanie adalah kado terindah yang pernah diberikan oleh ayahnya.
Steffanie. Ya! Terkadang terasa aneh dan kurang logis saat mendengar nama “Steffanie” diberikan hanya untuk sebuah sepeda ontel butut milik Rasti. Rasa-rasanya nama itu terlalu heboh dan sensasional jika diberikan pada sebuah sepeda. Bahkan kedahsyatan nama itu seperti menyaingi keunikan nama pemiliknya sendiri. Rasti Candrika Faranissa.
Rasti segera beranjak menuju kelasnya.

***
“Assalamu,alaikum”, sapa Rasti pada Alya, sahabat sebangkunya. Lalu Rasti duduk disamping Alya di bangku nomor tiga dari depan. Tempat duduk yang cukup strategis baginya untuk konsentrasi belajar.
“Waalaikumussalam”, jawab Alya. Dia menatap Rasti dengan heran. ”Hey,Ras?! Are you OK? Kok kelihatan lesu gitu, sih?
“Gue masih kecapaian, Al. Semalaman bungkusin es lilin pesenan orang. Sampai-sampai gue bangun kesiangan. Bayangin aja, gue sholat Subuh baru jam setengah enam tadi!”
“Lhoh, jam beker punya loe? Emangnya alarmnya ga bunyi?”
“Jam beker punya gue mati, Al. Kemarin mau beli baterai tapi uangnya dipinjem ibu dulu buat tambah beli beras.”
“Sampai segitunya?”. Alis mata Alya naik.
Rasti mengangguk pelan.
“Kalo loe bangun kesiangan, es lilin pesenannya gimana?”
“Restu yang nganter.”
Wahh…, gue salut sama kalian, Ras. Kompak banget sih, bantuin ortu?!”
“Yeee…,  itu udah jadi kewajiban kita, kali!”
Rasti dan Alya diam sejenak.
“Eh, nama panjang ade’ loe siapa, sih?”. Tanya Alya mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa?”
“Ga, kok. Cuma Tanya aja.”
“Restu Candra Farellino.”, jawab Rasti singkat. Dia masih merasakan kantuk yang teramat sangat.”
“Wuihh…, keren banget, tuh!”. Alya tertegun. ”Restu Candra FareLino… dan nama loe… Rasti Candrika Faranissa…”
Rasti mengernyitkan kening. Dia melihat Alya termangu sambil menyebut-nyebut namanya dan adiknya.
“Loe kenapa sih, Al?”
“Gue heran deh, Ras. Maaf sebelumnya, ya? Orang tua loe itu kan cuma buruh pabrik. Tapi selera ortu loe buat ngasih nama ke anak-anaknya bener-bener berkelas, tau ga?!”
“Oh…itu.”, jawab Rasti enteng. ”Bukan ortu gue yang bikin nama itu. Kata ayah, itu nama pemberian dari majikannya dulu. Dulu kan ayah gue sempet kerja jadi sopir pribadi. Majikan ayah itu orangnya baik banget. Ayah udah dianggap keluarganya sendiri. Tapi sayang, suatu saat boss ayah dan keluarganya harus pindah ke luar negeri. Terus, ayah balik lagi deh, ke pinggiran kota Jakarta ini.”
“Ooo…gitu…!”, Alya mengangguk paham.

***

“Apa diantara kalian ada yang tahu contoh perbuatan yang mencerminkan warga Negara yang baik?”, tanya Pak Riko, guru Pendidikan Kewarganegaraan kelas Rasti, saat mengajar di kelasnya.
“Kamu, Tino! Jawab!”, tunjuk pak Riko pada seorang siswa yang berkacamata minus dengan penampilan yang sedikit jadul (jaman dulu).
“Mana bisa si culun itu menjawab pertanyaan dari bapak???”,  Dennise menimpali.
“Huuuuuu...!!!”, sekejap suara riuh dan gaduh mulai menyelimuti kelas.
“Tenang! Tenang!”, kata Pak Riko sedikit gusar. “Jangan bicara sembarangan Dennise! Kalau begitu kamu saja yang menjawab, Den!”, lanjutnya.
Alhamdulillah... Kata Tino dalam hati sambil mengelus dada. Dia merasa lega, selamat dari pertanyaan yang menurutnya susah untuk menguraikan jawaban melalui kata-kata. Apalagi jika jawaban itu diungkakan oleh seseorang yang culun, jadul dan aneh sepertinya.
“Oke, Pak!” Itu pertanyaan paling gampang yang pernah saya dengar. Terlalu sederhana untuk seorang Dennise.”, kata Dennise penuh percaya diri.
“Bagus, kalau begitu jawab sekarang!”
“Contoh perbuatan yang mencerminkan warga negara yang baik adalah mengikuti pemilihan umum, Pak. Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, Pak. Kita menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. Benar kan, Pak?”
“Benar! Sempurna, Dennise!” Pak Riko terlihat mengacungkan jempolnya untuk Dennise.
“Maaf, Pak!”, seru Rasti tiba-tiba. Semua mata menjadi tertuju padanya, tak terkecuali Alya. “Apa boleh saya berpendapat lain dengan Dennise, Pak?”
“Sok tahu loe, Ras!”, teriak Dennise pada Rasti.
Rasti melihatnya sekilas lalu kembali menghadapkan wajahnya pada pak Riko. Pak Riko terlihat sedikit gugup. Sebenarnya ia sedikit “takut dan jengkel” pada Rasti. Bukan karena masalah yang serius, hanya saja selama ia mengajar sebagai seorang guru, Rasti satu-satunya siswa yang kerap menyangkal pernyataan-pernyataannya dengan tajam. Meskipun ia mengakui bahwa opini-opini Rasti selalu masuk akal dan sangat berkualitas. Di hadapan pak Riko, Rasti adalah sosok siswi yang kritis dengan pemikiran-pemikiran yang realistis, meskipun terkadang sedikit kontroversial. Dan mungkin itu juga yang akan terjadi kali ini.
“Sudah, sudah...! Berikan kesempatan pada Rasti untuk mengungkapkan pendapat, Dennise! Semuanya mempunyai hak yang sama dalam mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan.”, kata pak Riko kemudian.
“Wahh, Undang-Undang Dasar’45 tuh, Pak!”, sergah Dennise lagi.
“Diam, Dennise!”, Pak Riko terlihat sedikit emosi.
Dennise ngambek dan sedikit kecewa. Mulutnya terlihat nyengir sekilas.
“Kamu punya pendapat lain, Rasti?” tanya pak Riko sedikit menyembunyikan rasa gugupnya, menunggu jawaban dari Rasti. “Coba jelaskan!”, lanjutnya.
“Terimakasih, Pak. Sebelumnya saya mohon maaf, kalau mungkin nanti pendapat saya kurang berkenan di  hati Bapak dan teman-teman semua. Bagaimanapun juga ini hanya pendapat saya secara pribadi.”
“Baiklah, silakan Rasti.”
“Begini, Pak...”, Rasti memulai penjelasan. “Menurut saya, penggunaan hak pilih dalam pemilu daerah, belum efektif dan efisien jika diterapkan di negara kita, Pak. Maaf, Pak. Mungkin pendapat saya ini menyimpang. Tapi kita harus saling menghargai, kan? Kalau saya sih kurang setuju dengan adanya pemilihan kepala daerah.”
“Kenapa begitu? Apa alasan kamu tidak menyetujui progaram pemerintah ini , Rasti?”
“Terus terang, Pak. Justru sebagai warga negara yang baiklah, saya kurang setuju dengan adanya hal itu. Soalnya dengan adanya pemilukada, peluang-peluang adanya korupsi malah semakin terbuka lebar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Bayangkan saja, Pak, anggaran tinta pemilu saja dikorupsi, Akibatnya? Tinta yang hanya berkualitas minim itu... belum sampai rumah saja sudah terhapus. Kurang adanya transparansi dan responsibelitas dalam pelaksanaan pemilu itu yang harus digaris bawahi. Sumber Daya Manusia Indonesia belum secerdas dan sejujur itu untuk bertanggung jawab. Kita belum siap melaksanakan suatu rencana yang belum terfikirkan secara matang.”
“Lhoh, kalau kita tidak mencobanya, kita tak kan pernah  tahu sejauh mana tingkat kecerdasan bangsa kita. Sebagai masyarakat yang demokratis, kita harus membiasakan diri untuk berdemokrasi, kan?!”, Pak Riko menimpali jawaban Rasti.
Teman-teman Rasti terlihat semakin antusias menunggu jawaban darinya.
“Demokrasi sih demokrasi, Pak...”, Rasti kembali angkat bicara. “Tapi bagaimana jadinya kalau istilah ‘demokrasi’ hanya digunakan sebagai ajang coba-coba? Pada akhirnya, ketidaksiapan moral bangsa yang menuntut kejujuran setiap warga negaranya justru akan menjerumuskan bangsa itu sendiri. Ketidaksiapan dan rendahnya moral manusia Indonesia itulah yang menjadi kunci kegagalan dalam pelaksanaan pemilukada atau sebagian besar praktek demokrasi di Indonesia. Dan akhirnya? Itu hanya akan membuang-buang anggaran belanja negara saja kan, Pak?! Belum lagi dengan adanya kericuhan-kericuhan karena timbulnya rasa ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan. Justru itu akan memecah belah bangsa dan malah menyelewengkan  arti dari demokrasi itu sendiri.”
Deg! Pak Riko kalah lagi dengan Rasti untuk yang kesekian kali. Semua mata tertegun melihat Pak Riko yang tanpa reaksi dan tidak lagi menyerang argumen Rasti. Sebenarnya bukan maksud Rasti untuk terlihat sok pinter di depan guru dan teman-temannya. Tetapi terkadang ia terlalu spontan dalam berkata-kata sehingga tidak bisa menutupi kebiasaannya beragumentasi.
“OK, pendapat kamu lumayan juga, Rasti.”, kata Pak Riko seperti mengakui kekalahan.
Rasti tersenyum. Semuanya ikut tersenyum. Pendapat Rasti memang menimbulkan pro dan kontra. Tapi  tidak ada yang bisa menyangkal keakuratan pendapatnya kali ini karena memang itulah realita yang terjadi saat ini, Termasuk seteru abadinya di kelas, Dennise.
“Cewek itu boleh juga?!”, katanya.
Tino melirik ke arah Rasti.
Bagus deh... Rasti bisa menyangkal pendapat Dennise dengan sukses. Sukses besar! Dennise emang perlu dikasih pelajaran biar dia ga sok pinter lagi!, gerutunya dalam hati sambil membenahi letak kacamatanya yang sedikit merosot.

***
Saat pulang sekolah...

Rasti menuntun Steffanie dari parkiran menuju gerbang sekolah. Tetapi tiba-tiba saja, Sheila and Gank (SG) datang menghampirinya.
“Ras!”, gertak Sheila. “Percaya diri banget sih loe pake sepeda butut loe itu?!!”
Rasti menghentikan langkahnya lalu menoleh ke samping. Ia masih diam, hanya menatap Sheila, Ria dan Marini kosong tanpa arti.
“Eh, denger ga sih, loe?! Loe tuh over PD!!!”, timpal Ria.
“Dasar cewek ga tau malu!”, Marini ikut-ikutan menodong Rasti dengan perkataan yang tajam. “Steffanie??? Apanya yang Steffanie? Sepeda butut plus rendahan kaya gitu aja dikasih nama ‘Steffanie’?! Makan tuh Steffanie punya loe!!!”
“Apa urusa kalian, sih?!”, kata Rasti akhirnya mulai membuka suara. “Sorry aja ya, jadwal gue kelewat padat. So, gue ga punya waktu buat ngurusin urusan yang ga penting kaya gini.”
Rasti menghela hafas sejenak, lalu menatap Marini dan kembali melanjutkan perkataannya.
“Loe heran ya, Mar, dengan nama ‘Steffanie’??? So what gitu loh? Gue ga pernah nyuruh loe atau siapapun buat nyebut sepeda gue dengan nama itu kok?! Kalian aja yang ikut-ikutan.”, Rasti sejenak tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya. “Lagian... kenapa gue mesti malu dengan sepeda butut milik gue sendiri? Kenapa mesti malu dengan diri gue yang sesungguhnya? Gue ga perlu malu buat ngakuin kalo gue bukan orang kaya, girls. Justru pasti gue bakalan malu banget kalo gue punya akhlak yang ga beres.”
“Maksud loe???”, Marini panas. Tersindir dengan perkataan Rasti.
“Ga bermaksud.”, jawab Rasti enteng.
“Kurang ajar banget sih, loe?!!”, Sheila gusar.
Rasti acuh tak acuh. Dia kembali menuntun sepedanya dan pergi meninggalkan mereka.
“Sheila, satu-satunya cewek di sekolah ini yang belum nurut sama kita-kita cuma dia tuh! Si Rasti!”, kata Ria sejenak setelah kepergian Rasti.
Sebenernya usaha apaan sih yang mesti kita lakuin biar dia mau nyerah sama kita-kita?! Dari jaman Jepang juga kita udah coba segala cara buat ngerjain dia, tapi hasilnya??? Gagal total!!!”, Sheila menggerutu.
“Percuma. Rasti itu kelewat cuek. Makanya kita kalah terus sama dia. Rasa-rasanya gue udah nyerah nyerang dia melulu. Toh, hasilnya nihil. Jangankan marah? Peduli sama omongan kita-kita aja, nggak! Sheila, Ria... Gue nyerah, deh. Pokoknya gue ga mau ngerjain Rasti sama Steffanie-nya lagi.”
“Marini?”, Sheila sedikit kecewa mendengar perkataan sahabatnya yang mengakui kekalahannya. “Terus loe gimana, Ri?”, ia menoleh ke arah Ria.
“Huff! Entahlah, Sheil.”, Ria mengangkat kedua bahunya.
Kemudian ketiganya masuk ke dalam mobil Marcedes Benz berwarna silver milik Sheila, melaju dari area parkir sekolah dan lenyap setelah keluar dari gerbang. Tak terbayangkan betapa kacau balau perasaan mereka karena gagal lagi mengalahkan Rasti.
Terang saja mereka putus asa. Rasti tidak pernah mau tahu dan selalu acuh dengan siapapun yang mencoba memperolok dirinya.

***
Tino mengajak Rasti berbincang di sela-sela waktu istirahat, di bangkunya. Ada beberapa siswa di kelas dengan kesibukan mereka sendiri. Ada yang ngobrol dengan temannya, ada juga yang sekedar membaca-baca buku sambil menanti lonceng masuk berbunyi.
“Apa artinya diriku yang cuma anak miskin, bodoh dan culun ini di hadapan temen-temen?”, Tanya Tino menggebu-gebu di tengah-tengah perbincangannya dengan Rasti. Raut mukanya tampak memerah, namun nampak sejuta penyesalan di balik ekspresi wajahnya.
“Tino?”, Rasti terperanjat. “Kenapa loe bisa ngomong kayak gitu sih??? Istighfar, Tino… Kedudukan kita sama di mata Allah. Ingat itu! Yang membedakan kita hanya tingkat ketakwaan masing-masing. Semua umat manusia punya hak yang sama dalam segala hal, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at.”
“Tapi saya miskin Rasti. Keluarga saya juga dari kalangan biasa saja. Otak saya juga pas-pasan. Saya tidak secerdas kamu. Terlebih lagi, saya… seorang penakut.. bukan seorang pemberani…”, sanggah Tino lesu.
Sepertinya ia tidak bisa menutupi kekalutan dan kegalauan yang ada di dalam hatinya pada Rasti. Rasa-rasanya ia mencoba berkata jujur mengutarakan apa yang ia rasakan pada sahabatnya itu.
“Tino…”, kata Rasti lembut. “Hakikat kecerdasan sejati adalah kemampuan berfikir kita untuk mengakui bahwa masih ada yang lebih cerdas dari kita. Keberanian sejati adalah keberanian untuk mengakui bahwa kita takut. Dan loe punya semua kemampuan itu Tino!”
“Tino terperanjat.
“Rasti?”
“Dengerin, gue. Sikap loe yang seperti itu jauh lebih baik daripada seseorang yang sok pemberani. Padahal dia ga lebih dari seorang pecundang.”
“Walaupun itu Dennise???”
Rasti diam sejenak.
“Seorang Dennise sekalipun.”, katanya sambil tersenyum.
Lalu bagaimana sengan Sheila??? Ria??? Marini??? Mereka siswi-siswi yang popular di sekolah ini karena materi yang mereka miliki.
“Ya! Termasuk mereka, Tino!”, kata Rasti bersemangat. “Kita harus berusaha untuk menunjukkan pada dunia bahwa tanpa limpahan materi, kita bisa menjadi seseorang yang berarti! Demi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara… terlebih lagi demi agama kita!”
“Benarkah saya bisa melakukannya, Ras???”
“Of course!!! Believe me, Tino. Atas izin Allah, ga ada hal yang ga mungkin. Impossible is nothing… !”
Tino kembali melemparkan senyuman temanis untuk Rasti.
“Kamu bener, Ras. Terimakasih ya!”
“You’re welcome…”, jawab Rasti lalu membalas senyuman Tino.
***
Rasti meletakkaan Steffanie di beranda rumah non permanen itu. Disandarkannya sepeda kesayangannya di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu ia masuk ke dalam rumah dan memberi salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”, jawab Restu lalu datang menghampiri kakaknya dengan raut muka panik.
“Kamu kenapa, Restu?”
“Gawat, kak! Gawat!”
“Gawat??? Gawat kenapa sih, De’?”, Rasti semakin penasaran. Ia menatap Restu dengan serius.
“Kulkas kita rusak, kak! Kita ga bisa jualan  es lagi!”, Restu tampak memelas saat mengucapkan kalimat itu.
“What??? I can’t believe it!”, kata Rasti kaget.
“Restu ga bohong, kak.”
Rasti terduduk lesu di sebuah kursi rotan yang ada di sebelahnya. Lalu Restu ikut duduk sambil menatap wajah kakaknya yang sayu.
“Astaghfirullah hal adzim...”, Rasti kembali menatap adiknya. “Terus, ayah dan ibu kemana?”
“Maka dari itu, kak... ayah dan ibu sekarang lagi pergi ke tukang elektronik.”
“Apa ayah dan ibu punya uang buat bayar jasa reparasi-nya, De’?”
Restu menggelengkan kepala.
“Sebenarnya, ayah dan ibu juga khawatir ka kulkasnya nanti udah kelar diperbaiki, kita bisa mengambilnya atau tidak. Soalnya kan kita ga bisa ambil kulkas itu tanpa ada uang.”, jelasnya.
“Terus? Kalau belom punya uang kenapa mesti kesana?”
“Kak, kalau ga segera diperbaiki, gimana kita bisa jualan? Uang upah buruh ayah dan ibu mana cukup buat kebutuhan kita sehari-hari? Maka dari itu, dalam jangka waktu proses perbaikan kulkas, kita mesti bisa cari uang tambahan untuk mengambilnya.”
Rasti tersenyum menyadari sifat kedewasaan adiknya yang mulai tampak, meskipun masih duduk di kelas 1 SMP.
“Kamu bener, De’. Kalau gitu kita mesti dapet kerjaan lain buat ambil kulkas itu.”
“Iya. Tapi Restu bingung, kak. Mesti kerja apa?”
“Ayolah, De’...! Jangan putus asa gitu, dong! Kalau kita mau berusaha, Allah pasti ngasih jalan buat kita. OK?”
Restu tersenyum lega mendengar jawaban kakaknya.

***
2 hari kemudian...

“Ayah tidak bisa membayangkan kalau kita tidak bisa mengambil kulkas itu kembali. Selain menjadi penghasil uang tambahan bagi keluarga kita, kulkas itu juga merupakan satu-satunya kenang-kenangan dari majikan ayah dulu.”
Semuanya diam.
“Ayah...”, Rasti memecah keheningan. “Tadi siang Rasti melamar kerja jadi office girl di perusahaan baru di sekitar sini. Rasti ingin kerja paruh waktu, Yah... dari pulang sekolah sampai habis maghrib. Besok udah mulai masuk kerja. Ayah dan ibu ngizinin, kan?”
“Rasti? Kamu serius?”
“Rasti serius, Yah...”
“Rasti..., kamu kan perempuan. Bahaya, sayang...!”, ibu Rasti turut berkomentar.
“Ibu.., Rasti kerja di sana kan cuma sementara aja. Kalo upah kerja Rasti udah cukup buat ngambil kulkas, Rasti akan berhenti. Pak Udin, satpam di perusahaan itu sudah kenal baik dengan Rasti. Makanya dia mau bantu Rasti untuk bisa kerja di sana sementara. Ibu tenang aja... Steffanie akan setia nemenin Rasti kok.”
“Steffanie???”, seru ibu seakan kurang puas dengan jawaban anaknya.
“Ibu ga usah khawatir sama kak Rasti. Kak Rasti kan orangnya sangar, jadi ga akan ada yang berani gangguan dia.”, Restu mencoba menenangkan hati ibunya. “Nanti kalo kak Rasti kerja, biar Restu yang beresin pekerjaan rumah.”
“Kalo itu dah jadi keputusan kamu, Ayah sih setuju saja. Asalkan kamu bisa jaga diri baik-baik. Ayah dan ibu percaya sepenuhnya sama kamu, nak.”
Rasti tersenyum.
“Insya Allah, Ayah. Makasih ya...”
***
“Rasti, antar teh ini ke Pak Roni ya!”, kata mbak Nur, rekan kerja Rasti yang juga seorang office girl.
Rasti menerima nampan dari mbak Nur, rekan kerja office girl-nya di kantor itu. Teh itu nampaknya masih hangat dengan adanya asap yang mengitari cangkir kecil itu. Aromanya  tercium sampai hidung Rasti, sedikit bisa memberikan aroma therapy khas tradisional baginya.
“OK, mbak Nur!”, jawabnya penuh semangat dan tak lupa menyunggingkan senyum.
Rasti berjalan menyusuri koridor menuju ruang Presiden Direktu perusahaan media massa yang cukup terkenal di ibu kota itu. Jarak dari pantry menuju ruang presdir hanya sekitar 70 meter. Tiba-tiba  Rasti telah sampai di depan ruangan bossnya.

Tok, tok, tok…
“Masuk!”, sahut seseorang dari dalam ruangan.
Tanpa ragu-ragu Rasti membuka pintu di depannya kemudian berjalan perlahan. Ia meletakkan secangkir tehbersama itu di meja Pak Ibrahim, Presdir perusahaan yang berusia sekitar 52 tahun. Rambutnya sudah memutih dan berkacamata.
“Silahkan, Pak.”, kata Rasti.
“Oh, ya Rasti. Silahkan duduk dulu. Saya ingin bicara sebentar denganmu.”
“Baik, Pak.”. Rasti duduk di hadapan meja Pak Roni. “Maaf Pak, ada apa gerangan pak Roni ingin berbicara dengan saya?”
“Ah, bukan apa-apa. Saya hanya ingin Tanya beberapa hal saja. Dengar-dengar kamu masih duduk di kelas dua SMA ya?”
“Iya, Pak…”
“Kenapa kamu kerja paruh waktu di sini? Bukankah orang tua kamu sudah bekerja?”
“Sudah, Pak. Dan sebenarnya saya kerja di sini untuk sementara saja, Pak. Nanti kalau upah Rasti sudah cukup untuk mengambil kulkas yang baru di servis.”
“Kulkas?”
“Iya, Pak. Kulkas untuk jualan es lilin. Tanpa e situ, kami tidak bisa menambah penghasilan keluarga.”
“Memangnya kamu butuh uang berapa untuk mengambil kulkasmua, Rasti?”
“Tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Pak.”
“Kalau begitu pakai saja uang saya, Rasti. Tiga ratus ribu, kan?”
Rasti terkaget.
“Oh, tidak usah, Pak. Terimakasih atas niat baik Bapak.”
“Saya serius, Rasti.”
Rasti diam sejenak.
“Terimakasih, Pak. Tapi saya juga serius. Saya benar-benar tidak bisa menerimanya. Bapak berkenan menerima saya bekerja di sini saja itu sudah sabuah kebahagiaan bagi saya. Jadi tolong izinkan saya untuk tetap bekerja di sini, Pak.
Pak Ibrahim tersenyum.
“Kamu memang benar-benar anak yang pantang menyerah, Rasti. Saya sangat salut sama kamu.”
“Terimaksih, Pak. Bapak juga orang yang baik. Bapak selalu ramah dan perhatian sama pegawai-pegawai bapak. Bapak benar-benar penuh kharisma! Rasti kagum sama Pak Ibrahim.”
“Ah… kamu bisa saja, Rasti!”, Pak Ibrahim menghela nafas. “Kedudukan kita di mata Allah itu sama, Rasti. Materi dan fisik hanya bersifat duniawi dan sementara. Sedangkan keimanan dan ketaqwaan mendatangkan kebahagiaan sejati dan bisa mengantar kita ke surge Allah yang abadi. Sudah sepantasnya kita menjalin hubungan silaturahim dengan sesama manusia dengan sebaik-baknya tanpa membedakan status sosial mereka. Sangat tidak fair jika kita terlalu konservatif dalam bergaul hanya karena hal yang tidak penting semacam itu.
Mendengar tutur kata Pak Ibrahim, Rasti menjadi semakin salut terhadap sosok boss yang bersahaja itu.
“Oh ya, Rasti. Kamu kesini naik apa? Sama siapa? Rumah kamu jauh?”, Tanya Pak Ibrahim membuyarkan lamunan Rasti.
“Jarak rumah saya ke kantor Cuma 3 km aja kok, Pak. Biasanya saya berangkat sama Steffanie.”, jawabnya santai.
“Steffanie???”
“Upppssss!!!”, Rasti keceplosan. Kemudian ia menutup mulutnya dengan ktangan kanannya. “Maksud saya, saya kesini naik sepeda, Pak”, lanjutnya sambil tersipu malu.
“Sepeda? Sepeda ontel??? Jadi Steffanie itu sepeda ontel kamu???”, Pak Ibrahim keheranan.
Rasti mengangguk.
“Hahahahahaha….”, Pak Ibrahim tertawa renyah.
Rasti hanya bisa melongo dan sedikit geli menyaksikan gigi Pak Ibrahim yang sudah ompong dua buah di bagian taring atas da bawah sebelah kanan.
“Kamu benar-benar anak yang unik, nak. Kamu tidak hanya pekerja keras, tapi juga lucu. Seberarti itukah sebuah nama bagi kamu?”
Mendengar pertanyaan Pak Ibrahim, Rasti diam sejenak. Ia hanya merasa bahwa pertanyaan beliau kali ini harus dijawab dengan super serius.
“Errmmm… sebenarnya…”, Rasti mulai menjelaskan. “Alasan saya memberi nama sepeda ontel saya bukan karena sesuato yang istimewa kok, Pak. Itu hanya cara saya untuk lebih menghargai Steffanie. Dia yang menemani perjuangan hidup saya. Bagi saya Steffanie adalah teman dekat saya, meski ia adalah sekumpullan besi yang tak bernyawa. Dia yang membuat saya merasa akan arti kesulitan hidup dan kebijaksaksanaan dalam harapan dan impian.”
“Oh…”, Pak Ibrahim mengangguk-agguk mencoba memahami perkataan dan perasaan Rasti. Saya mengerti, Rasti.
Pak Ibrahim dan Rasti sama-sama melemparkan senyum.
“Baiklah, Rasti. Sekarang kamu boleh melanjutkan pekerjaan kamu.”
“Baik, Pak.”
Rasti beranjak dari duduknya lalu keluar dari ruangan nyaman itu.
***
1 Bulan Kemudian…

Rasti terlihat hati-hati saat membawa nampan. Ia berjalan perlahan menuju ruangan Pak Ibrahim. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja sebgai office girl.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk”, sahut seseorang dari seberang pintu.
Rasti meletakkan secangkir teh di meja Pak Ibrahim.
“Assalamu’alaikum, Rasti…”, sapa Pak Ibrahim sambil tersenyum.
“Wa’alaikumussalam, Pak…”
“Gimana, Ras? Upah kamu sudah kamu gunakan untuk mengambil kulas, apa belum?”
“Sudah, Pak. Kemarin lusa kulkas saya sudah bisa diambil.”, jawab Rasti singkat, namun tetap sopan.
“Oh, ya. Kata mbak Nur, kemarin kamu tidak masuk kerja ya? Bukankah kemarin adalah hari terakhir kamu masuk kerja di sini?
“Iya, Pak. Kemarin ayah saya jatuh sakit. Sepulang sekolah saya menjaga ayah di rumah. Soalnya ibu belum pulang kerja, Pak. Sementara adik saya harus pergi untuk jualan es lilin. Jadi saya berniat mengganti hari terakhir kerja saya di hari ini, Pak.”
Pak Ibrahim hanya tersenyum mendengar Rasti bicara tanpa henti.”
“Lalu? Apakah ayah kamu sekarang sudah sembuh?”, tanyanya.
“Alhamdulillah, Pak. Ayah sudah baikan. Ayah hanya butuh istirahat saja. Kata dokter, beliau kecapaian. Besok lusa ayah sudah boleh pergi kerja lagi kok.”
“Syukurlah kalau begitu.”, kata Pak Ibrahim lega. Ia turut sumringah mendengar keadaan ayah Rasti yang tidak terlalu serius. “Ermmmm…. Apa boleh saya menjenguk ayah kamu, nak?”, lanjut beliau.
Rasti terbelalak.
“Ohh, tidak usah Pak. Terimakasih sebelumnya atas kepedulian Pak Ibrahim. Tapi saya dan keluarga saya tidak ingin merepotkan Bapak.”
“Tidak apa-apa, Rasti. Bukankah  kita dianjurkan untuk menjenguk orang sakit. Lagian, rumah kamu tidak jauh dari sini bukan? Bagaimana?”
“Errrmmmm… Bapak serius?”, Rasti mencoba memastikan niat boss-nya itu.
“Tentu saja, serius. Kalau begitu nanti kamu bareng sama Steffanie, biar saya mengikuti kamu dari belakang dengan mobil.”
Rasti mengangguk senang. Bukan hanya karena terkesan oleh kebaikan hati Pak Ibrahim. Tetapi terkadang hatinya juga tertawa geli karena Pak Ibrahim dan rekan-rekan kerjanya di kantor ikut-ikutan memanggil  sepedanya dengan “Steffanie”. Hehehehehe…

***
Ba’da sholat Maghrib di kantor tadi, Rasti dan Pak Ibrahim berangkat menuju rumah Rasti. Dan akhirnya sekarang mereka tiba di teras depan rumah.
“Assalamu’alaikum”, Rasti dan Pak Ibrahim mengucapkan salam secara bersamaan tanpa di komando.
Kemudian Rasti mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah sederhana itu.
“Wa’alaikumussalam”, terdengar suara ibu Rasti menjawab salam pada mereka.
“Oh… ada tamu rupanya”, tampak rona ceria dari wajah ibu Rasti menutupi segala masalah yang ada di baliknya. Kemudian duduk di hadapan Pak Ibrahim. "Silahkan duduk, Pak."
 “Terimakasih.”
Rasti membawa masuk bingkisan buah pemberian Pak Ibrahim. Tak lama kemudian ia muncul bersama ayahnya. Ia menggandengnya dan berjalan perlahan menuju ruang tamu yang tidak terlalu luas itu.
Setelah tiba di ruang tamu, langkah ayah Rasti terhenti. Pak Ibrahim pun terperanjat berdiri dengan serta merta. Melihat kejadian yang sedikit aneh itu, Rasti dan ibunya linglung.
Terlihat mata ayah Rasti dan Pak Ibrahim melinangkan air mata.
“Pak Ibrahim?!”, seru ayah Rasti tiba-tiba.
“Imam?!” sontak Pak Ibrahim menyebut nama ayah pegawainya itu dengan nada tak percaya.
Pak Ibrahim dan Imam berpelukan erat. Erat sekali. Sementara air mata mereka masih mengalir membanjiri pipi.
Rasti dan Ibunya semakin keheranan, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat kemudian Ayah Rasti dan Pak Ibrahim melepaskan rangkulan mereka dan mengusap air mata. Kemudian mereka duduk berdampingan. Rasti dan ibunya ikut duduk kembali.
Pak Ibrahim menatap Rasti sekilas lalu menghadap kembali ke arah ayah Rasti.
“Jadi… dia adalah Rasti, anak kamu, Imam?”, tanyanya.
“Iya, Pak.”, jawab ayah Rasti. “Saya tidak pernah menyangka kalau majikan Rasti yang sering diceritakannya saat di rumah adalah pak Ibrahim, majikan saya dulu. Majikan yang telah berbudi banyak di kehidupan saya selama ini.”
Deg! Jantung Rasti dan ibunya tersentak. Ternyata Pak Ibrahim adalah majikan ayah ketika bekerja sebagai sopir pribadi dulu di Tangerang Selatan. Majikan ayah  yang memberinya kulkas. Rasti tersenyum. Ia merasa terharu. Ternyata sosok yang penuh kharisma serta bijaksana itu yang memberi nama unik padanya dan adiknya.
“Rasti… sekarang aku tahu kenapa ada yang berbeda saat aku memanggil namamu.”, kata Pak Ibrahim memecah keheningan.
Rasti hanya tersenyum. Rasanya ia tak mampu lagi berkata-kata.
“Rasti, maaf… mungkin kamu dan ibumu kaget melihat aku dan ayahmu berpelukan  seperti tadi. Tapi saya kira kamu sudah mengerti apa yang terjadi sekarang.
Rasti mengangguk. Sedangkan ibu Rasti, meskipun masih sedikit kebingungan, tapi ia mulai paham.
“Mana Restu?”
“Restu sedang mengaji di TPA masjid kampung sebelah, Pak...”, jawab Rasti sedikit terbata-bata.
Kemudian mereka semua berbincang-bincang.
“Imam…”, kata Pak Ibrahim. “Tolong izinkan aku membantumu untuk membiayai pendidikan Rasti.”, lanjutnya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan yang semula ringan menjadi lebih berat dan serius.
Semua mata terpana. Tertegun dan kaget saat Pak Ibrahim berkata seperti itu secara tiba-tiba.
“Pak?”, ayah Rasti tak mampu melanjutkan perkataannya. Ia sedikit shocked seakan tak percaya akan apa yang telah ia dengar barusan.
“Rasti anak yang cerdas dan pekerja keras, Imam. Ia harus diberi kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.”
“Tapi…”, sepertinya ayah Rasti belum memperoleh kerangka kalimat yang untuk menanggapi pernyataan Pak Ibrahim.
“Percayalah padaku, Imam. Sejak pertama kali melihat Rasti bekerja di perusahaan baruku, aku merasa optimis terhadap cara pemikirannya. Meskipun ia hanya bekerja sebagai seorang office girl, aku tahu betul bahwa dia terlalu cerdas untuk pekerjaannya itu. Aku bisa melihat potensi bisnis yang luar biasa yang terpendam pada diri Rasti dari caranya bekerja, bersikap dan berbicara.”
Ayah Rasti menoleh ke arah istrinya.
“Pak Ibrahim benar, Yah. Rasti butuh kesempatan itu untuk mewujudkan mimpinya.”
Mendengar ibu Rasti berpendapat, Pak Ibrahim tersenyum.
“Bagaimana menurutmu, Rasti?”, ayah Rasti mencoba meminta pendapat anaknya.
“Rasti sangat senang, Ayah.”, kata Rasti. “Insya Allah, Rasti tidak akan mengecewakan Pak Ibrahim yang telah memberikan kepercayaan pada Rasti. Rasti akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tangung jawab ini.”
“Alhamdulillah…”, kata Pak Ibrahim, ayah dan ibu Rasti penuh rasa syukur.
Kemudian mereka larut dalam lautan perbincangan. Buih kerinduan dan gelombang kasih sayang yang tulus antar sesama umat manusia karena kecintaan mereka terhadap Tuhan-Nya pun terpancar jelas dari irama dan nada percakapan yang mereka lantunkan.

"Alhamdulillah… sungguh ini adalah anugerah terindah bagiku, Ya Allah. Aku tahu bahwa tekad, perjuangan dan kerja kerasku selama ini tidak akan berhasil tanpa kehendak dan kuasa-Mu, Rabbi. Ada gejolak api yang membara yang melingkupi jiwa dan ragaku untuk selalu berusaha mewujudkan impianku. Impian untuk meraih dunia dan surga hanya karena Ridho-Mu. Dan Steffanie-ku akan benar-benar menjadi saksi abadi dari perjuanganku dan kobaran hatiku selama ini. Kobaran hati! Ya! Kobaran hati yang takkan pernah padam untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, bukan sekedar khayalan. Selamanya akan kujaga sinarnya, kobaran hati ini. Kobaran tekad dan kemauan. Kobaran doa, semangat, usaha serta ketulusan yang terbingkai elok oleh manisnya kesabaran serta ketawakkalan. Kobaran hati ini selamanya akan tetap ada dalam hati. ", Kata Rasti dalam hati.

“...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ra’d [13]: 11)

1 komentar: