Kilauan cahaya
Membersitkan sejuta sinar terurai yang kerap membutakan mata, memekakkan
telinga
Namun terkadang ia bermetamorfosa menjadi sebuah
zamrut penuh pesona
Tampil tanpa tabir di hadapan dunia
Biarkan hidup menerbitkan makna
Biarkan rasa mencerminkan gelora jiwa
Sepanas bara saat berkobar menjelma menjadi api
Segiras semangat diri merajut kobaran hati
***
“Kak Rasti berangkat aja duluan! Nanti
biar Restu aja yang nganter dagangan ke rumah bang Juki.”
Wajah Rasti terlihat cerah seketika. Dia tersenyum
menatap Restu. Tak disangka olehnya, adik satu-satunyaitu akan menawarinya
bantuan.
“Ya ga lah, kak… Masa
Restu bohong,sih?”, kata Restu sambil menyusun es-es lilin kedalam termos. ”Restu kan tahu, kalo sekolah kakak favorit. Pengawasan
dan tingkat kedisiplinannya juga ketat. Kalo kakak terlambat
bisa-bisa dikeluarin dari sekolah. Terus? Gawat
banget kan
kalo kakak kehilangan beasiswa berprestasi hanya gara-gara hal itu?! Jangan
sampai, deh! Restu kan
juga kasihan sama kakak. Semaleman kakak udah kerja lembur
bungkusin es lilin pesenan bang Juki. Jadi biar Restu aja
yang nganter es-nya.”, lanjutnya. Sementara Rasti hanya bisa mendengarkan
perkataan panjang lebar dari adiknya sambil merapikan seragam yang dikenakannya
dan memakai kerudung untuk segera berangkat ke sekolah.
“Makasih banget ya, Restu
sayang…”, kata Rasti. ”Oh ya, ayah
dan ibu udah berangkat kerja?”
“Ya udah dong, kak. Dari
tadi.”
Rasti mengambil tas dan mencangklongnya.
“Ya udah, kakak berangkat
dulu, ya?! Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam.”
Rasti mengambil sepeda ontelnya, Steffanie. Rasti
mulai mengayuhnya menuju sekolahnya, yang berjarak
sekitar dua kilometer dari rumahnya.
***
Rasti memarkirkan Steffanie di parkiran
sekolahnya, SMA Tunas Bangsa. Ia tersenyum
sendiri. Diantara yang lainnya, Steffanie adalah
sepeda ontel satu-satunya di parkiran itu. Padahal mayoritas
yang terparkir disana adalah sepeda motor, bahkan mobil. Mulai
dari mobil-mobil yang biasa saja hingga mobil-mobil pabrikan ternama. Dari
McLaren, Ferrari sampai Ford, semua ada di
parkiran itu.
Tak heran, banyak teman-teman
sebayanya yang menertawakan dirinya dan Steffanie. Bukan hanya karena
Steffanie satu-satunya sepeda ontel di sekolah itu, tapi juga sepeda ontel yang
dikatakan “sepeda kuno plus rendahan” oleh siswa-siswi yang katanya anak-anak orang intelek itu diberi nama se-beken
“Steffanie” oleh pemiliknya. Seluruh
sekolah juga tahu kalau “Steffanie” adalah sepeda ontel milik Rasti.
Meskipun tak jarang mendapat cercaan dan
hinaan dari teman-temannya, Rasti tidak pernah peduli dengan itu
semua. Yang dia tahu dan pahami, Steffanie telah
menemani perjalanan hidupnya selama ini. Sejak SMP, Steffanie
selalu menemaninya ke sekolah dan berjualan es. Rasti berharap Steffanie
akan menjadi saksi abadi dari kerja keras dan perjalanan hidupnya selama ini. Dia
harus berjuang mati-matian untuk meraih manisnya kesuksesan. ”Hidup
adalah perjuangan”, seperti kata-kata politikus yang
akhir-akhir ini kerap muncul di layar kaca televisi hitam putih milik keluarganya. Bagaimanapun
Steffanie adalah kado terindah yang pernah diberikan oleh ayahnya.
Steffanie. Ya! Terkadang terasa
aneh dan kurang logis saat mendengar nama “Steffanie” diberikan hanya untuk
sebuah sepeda ontel butut milik Rasti. Rasa-rasanya nama
itu terlalu heboh dan sensasional jika diberikan pada sebuah sepeda. Bahkan
kedahsyatan nama itu seperti menyaingi keunikan nama pemiliknya sendiri. Rasti
Candrika Faranissa.
Rasti segera beranjak menuju kelasnya.
***
“Assalamu,alaikum”, sapa
Rasti pada Alya, sahabat sebangkunya. Lalu Rasti duduk
disamping Alya di bangku nomor tiga dari depan. Tempat duduk yang
cukup strategis baginya untuk konsentrasi belajar.
“Wa’alaikumussalam”, jawab Alya. Dia
menatap Rasti dengan heran. ”Hey,Ras?! Are
you OK? Kok kelihatan lesu gitu, sih?”
“Gue
masih kecapaian, Al. Semalaman bungkusin es lilin pesenan orang. Sampai-sampai gue bangun kesiangan. Bayangin
aja, gue sholat Subuh baru jam setengah enam tadi!”
“Lhoh, jam beker punya loe? Emangnya alarmnya ga bunyi?”
“Jam beker punya gue mati, Al. Kemarin
mau beli baterai tapi uangnya dipinjem ibu dulu buat tambah beli beras.”
“Sampai segitunya?”. Alis
mata Alya naik.
Rasti mengangguk pelan.
“Kalo loe bangun kesiangan, es
lilin pesenannya gimana?”
“Restu yang nganter.”
Wahh…, gue salut sama
kalian, Ras. Kompak banget sih, bantuin
ortu?!”
“Yeee…,
itu udah jadi kewajiban
kita, kali!”
Rasti dan Alya diam sejenak.
“Eh, nama panjang ade’ loe siapa, sih?”. Tanya Alya mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa?”
“Ga, kok. Cuma
Tanya aja.”
“Restu Candra Farellino.”, jawab
Rasti singkat. Dia masih merasakan kantuk yang teramat sangat.”
“Wuihh…, keren banget, tuh!”. Alya
tertegun. ”Restu Candra FareLino… dan nama loe… Rasti Candrika Faranissa…”
Rasti mengernyitkan kening. Dia
melihat Alya termangu sambil menyebut-nyebut namanya dan adiknya.
“Loe kenapa sih, Al?”
“Gue heran deh, Ras. Maaf
sebelumnya, ya?
Orang tua loe itu kan cuma buruh pabrik. Tapi
selera ortu loe buat ngasih nama ke anak-anaknya bener-bener berkelas, tau
ga?!”
“Oh…itu.”, jawab Rasti enteng. ”Bukan
ortu gue yang bikin nama itu. Kata ayah, itu
nama pemberian dari majikannya dulu. Dulu kan ayah gue
sempet kerja jadi sopir pribadi. Majikan ayah itu
orangnya baik banget. Ayah udah dianggap keluarganya sendiri. Tapi
sayang, suatu saat boss ayah dan keluarganya harus pindah ke
luar negeri. Terus, ayah balik lagi deh, ke
pinggiran kota Jakarta ini.”
“Ooo…gitu…!”, Alya mengangguk
paham.
***
“Apa diantara kalian ada yang tahu contoh
perbuatan yang mencerminkan warga Negara yang baik?”, tanya
Pak Riko, guru Pendidikan Kewarganegaraan
kelas Rasti, saat mengajar di kelasnya.
“Kamu,
Tino! Jawab!”, tunjuk pak Riko pada seorang siswa yang berkacamata minus dengan
penampilan yang sedikit jadul (jaman dulu).
“Mana
bisa si culun itu menjawab pertanyaan dari bapak???”, Dennise menimpali.
“Huuuuuu...!!!”,
sekejap suara riuh dan gaduh mulai menyelimuti kelas.
“Tenang!
Tenang!”, kata Pak Riko sedikit gusar. “Jangan bicara sembarangan Dennise!
Kalau begitu kamu saja yang menjawab, Den!”, lanjutnya.
Alhamdulillah...
Kata Tino dalam hati sambil mengelus dada. Dia merasa lega, selamat dari
pertanyaan yang menurutnya susah untuk menguraikan jawaban melalui kata-kata.
Apalagi jika jawaban itu diungkakan oleh seseorang yang culun, jadul dan aneh
sepertinya.
“Oke,
Pak!” Itu pertanyaan paling gampang yang pernah saya dengar. Terlalu sederhana
untuk seorang Dennise.”, kata Dennise penuh percaya diri.
“Bagus,
kalau begitu jawab sekarang!”
“Contoh
perbuatan yang mencerminkan warga negara yang baik adalah mengikuti pemilihan
umum, Pak. Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, Pak. Kita menggunakan hak pilih
dengan sebaik-baiknya. Benar kan, Pak?”
“Benar!
Sempurna, Dennise!” Pak Riko terlihat mengacungkan jempolnya untuk Dennise.
“Maaf,
Pak!”, seru Rasti tiba-tiba. Semua mata menjadi tertuju padanya, tak terkecuali
Alya. “Apa boleh saya berpendapat lain dengan Dennise, Pak?”
“Sok
tahu loe, Ras!”, teriak Dennise pada Rasti.
Rasti
melihatnya sekilas lalu kembali menghadapkan wajahnya pada pak Riko. Pak Riko terlihat
sedikit gugup. Sebenarnya ia sedikit “takut dan jengkel” pada Rasti. Bukan
karena masalah yang serius, hanya saja selama ia mengajar sebagai seorang guru,
Rasti satu-satunya siswa yang kerap menyangkal pernyataan-pernyataannya dengan
tajam. Meskipun ia mengakui bahwa opini-opini Rasti selalu masuk akal dan
sangat berkualitas. Di hadapan pak Riko, Rasti adalah sosok siswi yang kritis
dengan pemikiran-pemikiran yang realistis, meskipun terkadang sedikit
kontroversial. Dan mungkin itu juga yang akan terjadi kali ini.
“Sudah,
sudah...! Berikan kesempatan pada Rasti untuk mengungkapkan pendapat, Dennise!
Semuanya mempunyai hak yang sama dalam mengeluarkan pikiran baik lisan dan
tulisan.”, kata pak Riko kemudian.
“Wahh,
Undang-Undang Dasar’45 tuh, Pak!”, sergah Dennise lagi.
“Diam,
Dennise!”, Pak Riko terlihat sedikit emosi.
Dennise
ngambek dan sedikit kecewa. Mulutnya terlihat nyengir sekilas.
“Kamu
punya pendapat lain, Rasti?” tanya pak Riko sedikit menyembunyikan rasa
gugupnya, menunggu jawaban dari Rasti. “Coba jelaskan!”, lanjutnya.
“Terimakasih,
Pak. Sebelumnya saya mohon maaf, kalau mungkin nanti pendapat saya kurang
berkenan di hati Bapak dan teman-teman
semua. Bagaimanapun juga ini hanya pendapat saya secara pribadi.”
“Baiklah,
silakan Rasti.”
“Begini,
Pak...”, Rasti memulai penjelasan. “Menurut saya, penggunaan hak pilih dalam
pemilu daerah, belum efektif dan efisien jika diterapkan di negara kita, Pak.
Maaf, Pak. Mungkin pendapat saya ini menyimpang. Tapi kita harus saling
menghargai, kan? Kalau saya sih kurang setuju dengan adanya pemilihan kepala
daerah.”
“Kenapa
begitu? Apa alasan kamu tidak menyetujui progaram pemerintah ini , Rasti?”
“Terus
terang, Pak. Justru sebagai warga negara yang baiklah, saya kurang setuju
dengan adanya hal itu. Soalnya dengan adanya pemilukada, peluang-peluang adanya
korupsi malah semakin terbuka lebar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Bayangkan
saja, Pak, anggaran tinta pemilu saja dikorupsi, Akibatnya? Tinta yang hanya
berkualitas minim itu... belum sampai rumah saja sudah terhapus. Kurang adanya
transparansi dan responsibelitas dalam pelaksanaan pemilu itu yang harus
digaris bawahi. Sumber Daya Manusia Indonesia belum secerdas dan sejujur itu
untuk bertanggung jawab. Kita belum siap melaksanakan suatu rencana yang belum
terfikirkan secara matang.”
“Lhoh,
kalau kita tidak mencobanya, kita tak kan pernah tahu sejauh mana tingkat kecerdasan bangsa
kita. Sebagai masyarakat yang demokratis, kita harus membiasakan diri untuk
berdemokrasi, kan?!”, Pak Riko menimpali jawaban Rasti.
Teman-teman
Rasti terlihat semakin antusias menunggu jawaban darinya.
“Demokrasi
sih demokrasi, Pak...”, Rasti kembali angkat bicara. “Tapi bagaimana jadinya
kalau istilah ‘demokrasi’ hanya digunakan sebagai ajang coba-coba? Pada
akhirnya, ketidaksiapan moral bangsa yang menuntut kejujuran setiap warga
negaranya justru akan menjerumuskan bangsa itu sendiri. Ketidaksiapan dan
rendahnya moral manusia Indonesia itulah yang menjadi kunci kegagalan dalam
pelaksanaan pemilukada atau sebagian besar praktek demokrasi di Indonesia. Dan
akhirnya? Itu hanya akan membuang-buang anggaran belanja negara saja kan, Pak?!
Belum lagi dengan adanya kericuhan-kericuhan karena timbulnya rasa
ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan. Justru itu akan memecah belah bangsa dan
malah menyelewengkan arti dari demokrasi
itu sendiri.”
Deg!
Pak Riko kalah lagi dengan Rasti untuk yang kesekian kali. Semua mata tertegun
melihat Pak Riko yang tanpa reaksi dan tidak lagi menyerang argumen Rasti.
Sebenarnya bukan maksud Rasti untuk terlihat sok pinter di depan guru dan
teman-temannya. Tetapi terkadang ia terlalu spontan dalam berkata-kata sehingga
tidak bisa menutupi kebiasaannya beragumentasi.
“OK,
pendapat kamu lumayan juga, Rasti.”, kata Pak Riko seperti mengakui kekalahan.
Rasti
tersenyum. Semuanya ikut tersenyum. Pendapat Rasti memang menimbulkan pro dan
kontra. Tapi tidak ada yang bisa
menyangkal keakuratan pendapatnya kali ini karena memang itulah realita yang
terjadi saat ini, Termasuk seteru abadinya di kelas, Dennise.
“Cewek
itu boleh juga?!”, katanya.
Tino
melirik ke arah Rasti.
Bagus
deh... Rasti bisa menyangkal pendapat Dennise dengan sukses. Sukses besar!
Dennise emang perlu dikasih pelajaran biar dia ga sok pinter lagi!, gerutunya
dalam hati sambil membenahi letak kacamatanya yang sedikit merosot.
***
Saat pulang sekolah...
Rasti
menuntun Steffanie dari parkiran menuju gerbang sekolah. Tetapi tiba-tiba saja,
Sheila and Gank (SG) datang menghampirinya.
“Ras!”,
gertak Sheila. “Percaya diri banget sih loe pake sepeda butut loe itu?!!”
Rasti
menghentikan langkahnya lalu menoleh ke samping. Ia masih diam, hanya menatap
Sheila, Ria dan Marini kosong tanpa arti.
“Eh,
denger ga sih, loe?! Loe tuh over PD!!!”, timpal Ria.
“Dasar
cewek ga tau malu!”, Marini ikut-ikutan menodong Rasti dengan perkataan yang
tajam. “Steffanie??? Apanya yang Steffanie? Sepeda butut plus rendahan kaya
gitu aja dikasih nama ‘Steffanie’?! Makan tuh Steffanie punya loe!!!”
“Apa
urusa kalian, sih?!”, kata Rasti akhirnya mulai membuka suara. “Sorry aja ya,
jadwal gue kelewat padat. So, gue ga punya waktu buat ngurusin urusan yang ga penting kaya gini.”
Rasti
menghela hafas sejenak, lalu menatap Marini dan kembali melanjutkan
perkataannya.
“Loe
heran ya, Mar, dengan nama ‘Steffanie’??? So what gitu loh? Gue ga pernah
nyuruh loe atau siapapun buat nyebut sepeda gue dengan nama itu kok?! Kalian
aja yang ikut-ikutan.”, Rasti sejenak
tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya. “Lagian... kenapa gue mesti malu
dengan sepeda butut milik gue sendiri? Kenapa mesti malu dengan
diri gue yang sesungguhnya? Gue ga perlu malu buat ngakuin kalo gue bukan orang
kaya, girls. Justru pasti gue bakalan malu banget kalo gue punya akhlak yang ga
beres.”
“Maksud
loe???”, Marini panas. Tersindir dengan perkataan Rasti.
“Ga
bermaksud.”, jawab Rasti enteng.
“Kurang
ajar banget sih, loe?!!”, Sheila gusar.
Rasti
acuh tak acuh. Dia kembali menuntun sepedanya dan pergi meninggalkan mereka.
“Sheila,
satu-satunya cewek di sekolah ini yang belum nurut sama kita-kita cuma dia tuh!
Si Rasti!”, kata Ria sejenak setelah kepergian Rasti.
Sebenernya
usaha apaan sih yang mesti kita lakuin biar dia mau nyerah sama kita-kita?!
Dari jaman Jepang juga kita udah coba segala cara buat ngerjain dia, tapi
hasilnya??? Gagal total!!!”, Sheila menggerutu.
“Percuma.
Rasti itu kelewat cuek. Makanya kita kalah terus sama dia. Rasa-rasanya gue
udah nyerah nyerang dia melulu. Toh, hasilnya nihil. Jangankan marah? Peduli
sama omongan kita-kita aja, nggak! Sheila, Ria... Gue nyerah, deh. Pokoknya gue
ga mau ngerjain Rasti sama Steffanie-nya lagi.”
“Marini?”,
Sheila sedikit kecewa mendengar perkataan sahabatnya yang mengakui
kekalahannya. “Terus loe gimana, Ri?”, ia menoleh ke arah Ria.
“Huff!
Entahlah, Sheil.”, Ria mengangkat kedua bahunya.
Kemudian
ketiganya masuk ke dalam mobil Marcedes Benz berwarna silver milik Sheila,
melaju dari area parkir sekolah dan lenyap setelah keluar dari gerbang. Tak
terbayangkan betapa kacau balau perasaan mereka karena gagal lagi mengalahkan
Rasti.
Terang
saja mereka putus asa. Rasti tidak pernah mau tahu dan selalu acuh dengan
siapapun yang mencoba memperolok dirinya.
***
Tino mengajak Rasti berbincang di sela-sela
waktu istirahat, di bangkunya. Ada beberapa siswa di kelas dengan kesibukan
mereka sendiri. Ada yang ngobrol dengan temannya, ada juga yang sekedar
membaca-baca buku sambil menanti lonceng masuk berbunyi.
“Apa artinya diriku yang cuma anak miskin,
bodoh dan culun ini di hadapan temen-temen?”, Tanya Tino menggebu-gebu di
tengah-tengah perbincangannya dengan Rasti. Raut mukanya tampak memerah, namun
nampak sejuta penyesalan di balik ekspresi wajahnya.
“Tino?”, Rasti terperanjat. “Kenapa loe bisa
ngomong kayak gitu sih??? Istighfar, Tino… Kedudukan kita sama di mata Allah.
Ingat itu! Yang membedakan kita hanya tingkat ketakwaan masing-masing. Semua
umat manusia punya hak yang sama dalam segala hal, asalkan tidak bertentangan
dengan syari’at.”
“Tapi saya miskin Rasti. Keluarga saya juga
dari kalangan biasa saja. Otak saya juga pas-pasan. Saya tidak secerdas kamu.
Terlebih lagi, saya… seorang penakut.. bukan seorang pemberani…”, sanggah Tino
lesu.
Sepertinya ia tidak bisa menutupi kekalutan
dan kegalauan yang ada di dalam hatinya pada Rasti. Rasa-rasanya ia mencoba
berkata jujur mengutarakan apa yang ia rasakan pada sahabatnya itu.
“Tino…”, kata Rasti lembut. “Hakikat
kecerdasan sejati adalah kemampuan berfikir kita untuk mengakui bahwa masih ada
yang lebih cerdas dari kita. Keberanian sejati adalah keberanian untuk
mengakui bahwa kita takut. Dan loe punya semua kemampuan itu Tino!”
“Tino terperanjat.
“Rasti?”
“Dengerin, gue. Sikap loe yang seperti itu
jauh lebih baik daripada seseorang yang sok pemberani. Padahal dia ga lebih
dari seorang pecundang.”
“Walaupun itu Dennise???”
Rasti diam sejenak.
“Seorang Dennise sekalipun.”, katanya sambil
tersenyum.
Lalu bagaimana sengan Sheila??? Ria???
Marini??? Mereka siswi-siswi yang popular di sekolah ini karena materi yang
mereka miliki.
“Ya! Termasuk mereka, Tino!”, kata Rasti
bersemangat. “Kita harus berusaha untuk menunjukkan pada dunia bahwa tanpa
limpahan materi, kita bisa menjadi seseorang yang berarti! Demi diri sendiri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara… terlebih lagi demi agama kita!”
“Benarkah saya bisa melakukannya, Ras???”
“Of course!!! Believe me, Tino. Atas izin
Allah, ga ada hal yang ga mungkin. Impossible is nothing… !”
Tino kembali melemparkan senyuman temanis
untuk Rasti.
“Kamu bener, Ras. Terimakasih ya!”
“You’re welcome…”, jawab Rasti lalu membalas
senyuman Tino.
***
Rasti
meletakkaan Steffanie di beranda rumah non permanen itu. Disandarkannya sepeda
kesayangannya di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu ia masuk ke
dalam rumah dan memberi salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”,
jawab Restu lalu datang menghampiri kakaknya dengan raut muka panik.
“Kamu
kenapa, Restu?”
“Gawat,
kak! Gawat!”
“Gawat???
Gawat kenapa sih, De’?”, Rasti semakin penasaran. Ia menatap Restu dengan
serius.
“Kulkas
kita rusak, kak! Kita ga bisa jualan es
lagi!”, Restu tampak memelas saat mengucapkan kalimat itu.
“What???
I can’t believe it!”, kata Rasti kaget.
“Restu
ga bohong, kak.”
Rasti
terduduk lesu di sebuah kursi rotan yang ada di sebelahnya. Lalu Restu ikut
duduk sambil menatap wajah kakaknya yang sayu.
“Astaghfirullah
hal adzim...”, Rasti kembali menatap adiknya. “Terus, ayah dan ibu kemana?”
“Maka
dari itu, kak... ayah dan ibu sekarang lagi pergi ke tukang elektronik.”
“Apa
ayah dan ibu punya uang buat bayar jasa reparasi-nya, De’?”
Restu
menggelengkan kepala.
“Sebenarnya,
ayah dan ibu juga khawatir ka kulkasnya nanti udah kelar diperbaiki, kita bisa
mengambilnya atau tidak. Soalnya kan kita ga bisa ambil kulkas itu tanpa ada
uang.”, jelasnya.
“Terus?
Kalau belom punya uang kenapa mesti kesana?”
“Kak,
kalau ga segera diperbaiki, gimana kita bisa jualan? Uang upah buruh ayah dan
ibu mana cukup buat kebutuhan kita sehari-hari? Maka dari itu, dalam jangka
waktu proses perbaikan kulkas, kita mesti bisa cari uang tambahan untuk
mengambilnya.”
Rasti
tersenyum menyadari sifat kedewasaan adiknya yang mulai tampak, meskipun masih
duduk di kelas 1 SMP.
“Kamu
bener, De’. Kalau gitu kita mesti dapet kerjaan lain buat ambil kulkas itu.”
“Iya.
Tapi Restu bingung, kak. Mesti kerja apa?”
“Ayolah,
De’...! Jangan putus asa gitu, dong! Kalau kita mau berusaha, Allah pasti
ngasih jalan buat kita. OK?”
Restu
tersenyum lega mendengar jawaban kakaknya.
***
2 hari kemudian...
“Ayah
tidak bisa membayangkan kalau kita tidak bisa mengambil kulkas itu kembali.
Selain menjadi penghasil uang tambahan bagi keluarga kita, kulkas itu juga
merupakan satu-satunya kenang-kenangan dari majikan ayah dulu.”
Semuanya
diam.
“Ayah...”,
Rasti memecah keheningan. “Tadi siang Rasti melamar kerja jadi office girl di
perusahaan baru di sekitar sini. Rasti ingin kerja paruh waktu, Yah... dari
pulang sekolah sampai habis maghrib. Besok udah mulai masuk kerja. Ayah dan ibu
ngizinin, kan?”
“Rasti?
Kamu serius?”
“Rasti
serius, Yah...”
“Rasti...,
kamu kan perempuan. Bahaya, sayang...!”, ibu Rasti turut berkomentar.
“Ibu..,
Rasti kerja di sana kan cuma sementara aja. Kalo upah kerja Rasti udah cukup
buat ngambil kulkas, Rasti akan berhenti. Pak Udin, satpam di perusahaan itu
sudah kenal baik dengan Rasti. Makanya dia mau bantu Rasti untuk bisa kerja di
sana sementara. Ibu tenang aja... Steffanie akan setia nemenin Rasti kok.”
“Steffanie???”,
seru ibu seakan kurang puas dengan jawaban anaknya.
“Ibu
ga usah khawatir sama kak Rasti. Kak Rasti kan orangnya sangar, jadi ga akan
ada yang berani gangguan dia.”, Restu mencoba menenangkan hati ibunya. “Nanti
kalo kak Rasti kerja, biar Restu yang beresin pekerjaan rumah.”
“Kalo
itu dah jadi keputusan kamu, Ayah sih setuju saja. Asalkan kamu bisa jaga diri
baik-baik. Ayah dan ibu percaya sepenuhnya sama kamu, nak.”
Rasti
tersenyum.
“Insya
Allah, Ayah. Makasih ya...”
***
“Rasti, antar teh ini ke Pak Roni ya!”, kata mbak Nur,
rekan kerja Rasti yang juga seorang office girl.
Rasti menerima nampan dari mbak Nur, rekan
kerja office girl-nya di kantor itu. Teh itu nampaknya masih hangat dengan
adanya asap yang mengitari cangkir kecil itu. Aromanya tercium sampai hidung Rasti, sedikit bisa
memberikan aroma therapy khas tradisional baginya.
“OK, mbak Nur!”, jawabnya penuh semangat dan
tak lupa menyunggingkan senyum.
Rasti berjalan menyusuri koridor menuju
ruang Presiden Direktu perusahaan media massa yang cukup terkenal di ibu kota
itu. Jarak dari pantry menuju ruang presdir hanya sekitar 70 meter.
Tiba-tiba Rasti telah sampai di depan
ruangan bossnya.
Tok, tok, tok…
“Masuk!”, sahut seseorang dari dalam
ruangan.
Tanpa ragu-ragu Rasti membuka pintu di
depannya kemudian berjalan perlahan. Ia meletakkan secangkir tehbersama itu di meja
Pak Ibrahim, Presdir perusahaan yang berusia sekitar 52 tahun. Rambutnya sudah
memutih dan berkacamata.
“Silahkan, Pak.”, kata Rasti.
“Oh, ya Rasti. Silahkan duduk dulu. Saya ingin
bicara sebentar denganmu.”
“Baik, Pak.”. Rasti duduk di hadapan meja
Pak Roni. “Maaf Pak, ada apa gerangan pak Roni ingin berbicara dengan saya?”
“Ah, bukan apa-apa. Saya hanya ingin Tanya
beberapa hal saja. Dengar-dengar kamu masih duduk di kelas dua SMA ya?”
“Iya, Pak…”
“Kenapa kamu kerja paruh waktu di sini?
Bukankah orang tua kamu sudah bekerja?”
“Sudah, Pak. Dan sebenarnya saya kerja di
sini untuk sementara saja, Pak. Nanti kalau upah Rasti sudah cukup untuk
mengambil kulkas yang baru di servis.”
“Kulkas?”
“Iya, Pak. Kulkas untuk jualan es lilin.
Tanpa e situ, kami tidak bisa menambah penghasilan keluarga.”
“Memangnya kamu butuh uang berapa untuk
mengambil kulkasmua, Rasti?”
“Tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Pak.”
“Kalau begitu pakai saja uang saya, Rasti.
Tiga ratus ribu, kan?”
Rasti terkaget.
“Oh, tidak usah, Pak. Terimakasih atas niat
baik Bapak.”
“Saya serius, Rasti.”
Rasti diam sejenak.
“Terimakasih, Pak. Tapi saya juga serius.
Saya benar-benar tidak bisa menerimanya. Bapak berkenan menerima saya bekerja
di sini saja itu sudah sabuah kebahagiaan bagi saya. Jadi tolong izinkan saya
untuk tetap bekerja di sini, Pak.
Pak Ibrahim tersenyum.
“Kamu memang benar-benar anak yang pantang
menyerah, Rasti. Saya sangat salut sama kamu.”
“Terimaksih, Pak. Bapak juga orang yang
baik. Bapak selalu ramah dan perhatian sama pegawai-pegawai bapak. Bapak
benar-benar penuh kharisma! Rasti kagum sama Pak Ibrahim.”
“Ah… kamu bisa saja, Rasti!”, Pak Ibrahim
menghela nafas. “Kedudukan kita di mata Allah itu sama, Rasti. Materi dan fisik
hanya bersifat duniawi dan sementara. Sedangkan keimanan dan ketaqwaan
mendatangkan kebahagiaan sejati dan bisa mengantar kita ke surge Allah yang
abadi. Sudah sepantasnya kita menjalin hubungan silaturahim dengan sesama
manusia dengan sebaik-baknya tanpa membedakan status sosial mereka. Sangat
tidak fair jika kita terlalu konservatif dalam bergaul hanya karena hal
yang tidak penting semacam itu.
Mendengar tutur kata Pak Ibrahim, Rasti
menjadi semakin salut terhadap sosok boss yang bersahaja itu.
“Oh ya, Rasti. Kamu kesini naik apa? Sama
siapa? Rumah kamu jauh?”, Tanya Pak Ibrahim membuyarkan lamunan Rasti.
“Jarak rumah saya ke kantor Cuma 3 km aja
kok, Pak. Biasanya saya berangkat sama Steffanie.”, jawabnya santai.
“Steffanie???”
“Upppssss!!!”, Rasti keceplosan. Kemudian ia
menutup mulutnya dengan ktangan kanannya. “Maksud saya, saya kesini naik
sepeda, Pak”, lanjutnya sambil tersipu malu.
“Sepeda? Sepeda ontel??? Jadi Steffanie itu
sepeda ontel kamu???”, Pak Ibrahim keheranan.
Rasti mengangguk.
“Hahahahahaha….”, Pak Ibrahim tertawa
renyah.
Rasti hanya bisa melongo dan sedikit geli
menyaksikan gigi Pak Ibrahim yang sudah ompong dua buah di bagian taring atas
da bawah sebelah kanan.
“Kamu benar-benar anak yang unik, nak. Kamu
tidak hanya pekerja keras, tapi juga lucu. Seberarti itukah sebuah nama bagi
kamu?”
Mendengar pertanyaan Pak Ibrahim, Rasti diam
sejenak. Ia hanya merasa bahwa pertanyaan beliau kali ini harus dijawab dengan
super serius.
“Errmmm… sebenarnya…”, Rasti mulai menjelaskan.
“Alasan saya memberi nama sepeda ontel saya bukan karena sesuato yang istimewa
kok, Pak. Itu hanya cara saya untuk lebih menghargai Steffanie. Dia yang
menemani perjuangan hidup saya. Bagi saya Steffanie adalah teman dekat saya,
meski ia adalah sekumpullan besi yang tak bernyawa. Dia yang membuat saya
merasa akan arti kesulitan hidup dan kebijaksaksanaan dalam harapan dan
impian.”
“Oh…”, Pak Ibrahim mengangguk-agguk mencoba
memahami perkataan dan perasaan Rasti. Saya mengerti, Rasti.
Pak Ibrahim dan Rasti sama-sama melemparkan
senyum.
“Baiklah, Rasti. Sekarang kamu boleh
melanjutkan pekerjaan kamu.”
“Baik, Pak.”
Rasti beranjak dari duduknya lalu keluar
dari ruangan nyaman itu.
***
1 Bulan Kemudian…
Rasti terlihat hati-hati saat membawa
nampan. Ia berjalan perlahan menuju ruangan Pak Ibrahim. Hari ini adalah hari
terakhirnya bekerja sebgai office girl.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk”, sahut seseorang dari seberang
pintu.
Rasti meletakkan secangkir teh di meja Pak
Ibrahim.
“Assalamu’alaikum, Rasti…”, sapa Pak Ibrahim
sambil tersenyum.
“Wa’alaikumussalam, Pak…”
“Gimana, Ras? Upah kamu sudah kamu gunakan
untuk mengambil kulas, apa belum?”
“Sudah, Pak. Kemarin lusa kulkas saya sudah
bisa diambil.”, jawab Rasti singkat, namun tetap sopan.
“Oh, ya. Kata mbak Nur, kemarin kamu tidak
masuk kerja ya? Bukankah kemarin adalah hari terakhir kamu masuk kerja di sini?
“Iya, Pak. Kemarin ayah saya jatuh sakit.
Sepulang sekolah saya menjaga ayah di rumah. Soalnya ibu belum pulang kerja,
Pak. Sementara adik saya harus pergi untuk jualan es lilin. Jadi saya berniat
mengganti hari terakhir kerja saya di hari ini, Pak.”
Pak Ibrahim hanya tersenyum mendengar Rasti
bicara tanpa henti.”
“Lalu? Apakah ayah kamu sekarang sudah
sembuh?”, tanyanya.
“Alhamdulillah, Pak. Ayah sudah baikan. Ayah
hanya butuh istirahat saja. Kata dokter, beliau kecapaian. Besok lusa ayah
sudah boleh pergi kerja lagi kok.”
“Syukurlah kalau begitu.”, kata Pak Ibrahim
lega. Ia turut sumringah mendengar keadaan ayah Rasti yang tidak terlalu
serius. “Ermmmm…. Apa boleh saya menjenguk ayah kamu, nak?”, lanjut beliau.
Rasti terbelalak.
“Ohh, tidak usah Pak. Terimakasih sebelumnya
atas kepedulian Pak Ibrahim. Tapi saya dan keluarga saya tidak ingin merepotkan
Bapak.”
“Tidak apa-apa, Rasti. Bukankah kita dianjurkan untuk menjenguk orang sakit.
Lagian, rumah kamu tidak jauh dari sini bukan? Bagaimana?”
“Errrmmmm… Bapak serius?”, Rasti mencoba
memastikan niat boss-nya itu.
“Tentu saja, serius. Kalau begitu nanti kamu
bareng sama Steffanie, biar saya mengikuti kamu dari belakang dengan mobil.”
Rasti mengangguk senang. Bukan hanya karena
terkesan oleh kebaikan hati Pak Ibrahim. Tetapi terkadang hatinya juga tertawa
geli karena Pak Ibrahim dan rekan-rekan kerjanya di kantor ikut-ikutan memanggil sepedanya dengan “Steffanie”. Hehehehehe…
***
Ba’da sholat Maghrib di kantor tadi, Rasti dan Pak Ibrahim berangkat menuju rumah Rasti. Dan akhirnya sekarang mereka tiba di teras depan rumah.
“Assalamu’alaikum”, Rasti dan Pak Ibrahim
mengucapkan salam secara bersamaan tanpa di komando.
Kemudian Rasti mempersilahkan tamunya masuk
ke dalam rumah sederhana itu.
“Wa’alaikumussalam”, terdengar suara ibu
Rasti menjawab salam pada mereka.
“Oh… ada tamu rupanya”, tampak rona ceria
dari wajah ibu Rasti menutupi segala masalah yang ada di baliknya. Kemudian
duduk di hadapan Pak Ibrahim. "Silahkan duduk, Pak."
“Terimakasih.”
Rasti membawa masuk bingkisan buah pemberian
Pak Ibrahim. Tak lama kemudian ia muncul bersama ayahnya. Ia menggandengnya dan
berjalan perlahan menuju ruang tamu yang tidak terlalu luas itu.
Setelah tiba di ruang tamu, langkah ayah
Rasti terhenti. Pak Ibrahim pun terperanjat berdiri dengan serta merta. Melihat
kejadian yang sedikit aneh itu, Rasti dan ibunya linglung.
Terlihat mata ayah Rasti dan Pak Ibrahim
melinangkan air mata.
“Pak Ibrahim?!”, seru ayah Rasti tiba-tiba.
“Imam?!” sontak Pak Ibrahim menyebut nama
ayah pegawainya itu dengan nada tak percaya.
Pak Ibrahim dan Imam berpelukan erat. Erat
sekali. Sementara air mata mereka masih mengalir membanjiri pipi.
Rasti dan Ibunya semakin keheranan, tak tahu
apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat kemudian Ayah Rasti dan Pak
Ibrahim melepaskan rangkulan mereka dan mengusap air mata. Kemudian mereka
duduk berdampingan. Rasti dan ibunya ikut duduk kembali.
Pak Ibrahim menatap Rasti sekilas lalu
menghadap kembali ke arah ayah Rasti.
“Jadi… dia adalah Rasti, anak kamu, Imam?”,
tanyanya.
“Iya, Pak.”, jawab ayah Rasti. “Saya tidak
pernah menyangka kalau majikan Rasti yang sering diceritakannya saat di rumah
adalah pak Ibrahim, majikan saya dulu. Majikan yang telah berbudi banyak
di kehidupan saya selama ini.”
Deg! Jantung Rasti dan ibunya tersentak.
Ternyata Pak Ibrahim adalah majikan ayah ketika bekerja sebagai sopir pribadi
dulu di Tangerang Selatan. Majikan ayah
yang memberinya kulkas. Rasti tersenyum. Ia merasa terharu. Ternyata
sosok yang penuh kharisma serta bijaksana itu yang memberi nama unik padanya dan
adiknya.
“Rasti… sekarang aku tahu kenapa ada yang
berbeda saat aku memanggil namamu.”, kata Pak Ibrahim memecah keheningan.
Rasti hanya tersenyum. Rasanya ia tak mampu lagi
berkata-kata.
“Rasti, maaf… mungkin kamu dan ibumu kaget
melihat aku dan ayahmu berpelukan
seperti tadi. Tapi saya kira kamu sudah mengerti apa yang terjadi
sekarang.
Rasti mengangguk. Sedangkan ibu Rasti,
meskipun masih sedikit kebingungan, tapi ia mulai paham.
“Mana Restu?”
“Restu sedang mengaji di TPA masjid kampung
sebelah, Pak...”, jawab Rasti sedikit terbata-bata.
Kemudian mereka semua berbincang-bincang.
“Imam…”, kata Pak Ibrahim. “Tolong izinkan
aku membantumu untuk membiayai pendidikan Rasti.”, lanjutnya tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan yang semula ringan menjadi lebih berat dan serius.
Semua mata terpana. Tertegun dan kaget saat
Pak Ibrahim berkata seperti itu secara tiba-tiba.
“Pak?”, ayah Rasti tak mampu melanjutkan
perkataannya. Ia sedikit shocked seakan tak percaya akan apa yang telah
ia dengar barusan.
“Rasti anak yang cerdas dan pekerja keras,
Imam. Ia harus diberi kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya.”
“Tapi…”, sepertinya ayah Rasti belum
memperoleh kerangka kalimat yang untuk menanggapi pernyataan Pak Ibrahim.
“Percayalah padaku, Imam. Sejak pertama kali
melihat Rasti bekerja di perusahaan baruku, aku merasa optimis terhadap cara
pemikirannya. Meskipun ia hanya bekerja sebagai seorang office girl, aku
tahu betul bahwa dia terlalu cerdas untuk pekerjaannya itu. Aku bisa melihat
potensi bisnis yang luar biasa yang terpendam pada diri Rasti dari caranya
bekerja, bersikap dan berbicara.”
Ayah Rasti menoleh ke arah istrinya.
“Pak Ibrahim benar, Yah. Rasti butuh
kesempatan itu untuk mewujudkan mimpinya.”
Mendengar ibu Rasti berpendapat, Pak Ibrahim
tersenyum.
“Bagaimana menurutmu, Rasti?”, ayah Rasti
mencoba meminta pendapat anaknya.
“Rasti sangat senang, Ayah.”, kata Rasti. “Insya
Allah, Rasti tidak akan mengecewakan Pak Ibrahim yang telah memberikan
kepercayaan pada Rasti. Rasti akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan
tangung jawab ini.”
“Alhamdulillah…”, kata Pak Ibrahim, ayah dan
ibu Rasti penuh rasa syukur.
Kemudian mereka larut dalam lautan
perbincangan. Buih kerinduan dan gelombang kasih sayang yang tulus antar sesama
umat manusia karena kecintaan mereka terhadap Tuhan-Nya pun terpancar jelas
dari irama dan nada percakapan yang mereka lantunkan.
"Alhamdulillah… sungguh ini adalah
anugerah terindah bagiku, Ya Allah. Aku tahu bahwa tekad, perjuangan dan kerja
kerasku selama ini tidak akan berhasil tanpa kehendak dan kuasa-Mu, Rabbi. Ada
gejolak api yang membara yang melingkupi jiwa dan ragaku untuk selalu berusaha mewujudkan
impianku. Impian untuk meraih dunia dan surga hanya karena Ridho-Mu. Dan Steffanie-ku
akan benar-benar menjadi saksi abadi dari perjuanganku dan kobaran hatiku
selama ini. Kobaran hati! Ya! Kobaran hati yang takkan pernah padam untuk
mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, bukan sekedar khayalan. Selamanya akan
kujaga sinarnya, kobaran hati ini. Kobaran tekad dan kemauan. Kobaran doa,
semangat, usaha serta ketulusan yang terbingkai elok oleh manisnya kesabaran
serta ketawakkalan. Kobaran hati ini selamanya akan tetap ada dalam hati. ", Kata Rasti dalam hati.
“...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.” (QS. Ar Ra’d [13]: 11)
hahaha... Steffanie??? nama sepeda!! :D
BalasHapus