Pendidikan dan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang paling mendasar di
negeri ini. Kemiskinan sangat berpengaruh dalam segala aspek kehidupam
masyarakat, khususnya dalam bidang Pendidikan. Padahal pendidikan
digadang-gadang sebagai solusi terbaik yang mampu mengatasi carut-marut
kemiskinan tersebut. Bagaimana bisa kita mengoptimalkan fasilitas pendidikan
jika kita masih terbelenggu dalam cengkeraman rantai kemiskinan???
Wajib kita sadari bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga
Negara dalam usaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan. Sedangkan pemerintah
memiliki kewajiban dalam hal penyelenggaraan pendidikan, seperti yang tertera
dalam Undang-undang Dasar 1945. Hal ini turut diapresiasikan pula dalam
pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) no. 20
tahun 2003 yang menyebutkan bahwa anggaran pendidikan dalam APBN maupun APBD mengharuskan adanya dana alokasi untuk
pendidikan minimal sebesar 20%. Salah satu implementasi dari kebijakan ini
adalah dengan diadakannya sekolah gratis bagi warga negara Indonesia. Namun
dengan adanya sistem otonomi daerah, tentunya setiap daerah mempunyai asumsi
dan interprestasi sendiri-sendiri kaitannya dalam usaha merealisasikan sekolah
gratis tersebut.
Tekait dengan proses penyelenggaraan Pendidikan di kota Surakarta,
pun sama dengan saerah-daerah lain, kota Surakarta memiliki wewenang dan
panfsiran tersendiri dalam menentukan kebijakan anggaran, termasuk dalam bidang
pendidikan. Memang baru-baru ini kota Surakarta dinyatakan sebagai daerah percontohan
dalam penyelenggaraan pendidikan yang mampu merangkul kaum miskin. Telah
diketahui oleh khalayak bahwa kesuksesan kota Surakarta dianugerahi gelar
tersebut salah satunya dikarenakan program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota
Surakarta (BPMKS). Tindak lanjutnya, Pemkot Surakarta mewajibkan SMP dan SMA/SMK
Negeri member jatah 10% bagi keluarga miskin dalam penerimaan siswa baru (PSB)
tahun ajaran 2011/2012. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri,
tidak terkecuali sekolah yang berlabel Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI). Untuk memastikan program tersebut dapat terlaksana dengan
baik, Disdikpora Solo mengeluarkan dua regulasi, yaitu pertama, memberi
kesempatan pada anak-anak keluarga miskin untuk mendaftar lebih awal, satu pekan
sebelum reguler. Kedua, nilai rata-rata minimal raport lebih rendah, reguler 7,5 sedangkan keluarga
miskin 7,0. Mengenai argumen yang menyatakan bahwa regulasi tersebut belum
tentu memadai untuk memayungi anak-anak dari keluarga miskin untuk belajar di
sekolah unggulan, memang patut untuk di pertimbangkan. Karena bagaimanapun juga
anak-anak keluarga miskin yang diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan di
sekolah-sekolah unggulan sekaliber RSBI,
belum tentu siap secara fisik maupun psikis atau secara materiil maupun moril.
Tidak hanya mengenai biaya operasional sekolah, karena sudah jelas bahwa pemkot
Surakarta telah memberikan dana bantuan pendidikan yang tidak sedikit. Tetapi
kita perlu cermati bahwa anak yang berada di suatu kondisi yang mayoritasnya
adalah kalangan menengah keatas, tentunya akan mempunyai beban yang tidak
ringan. Misalnya saja secara fisik atau materiil, seorang anak yang miskin
sulit untuk bersaing dalam mengejar prestasi teman-temannya yang kebanyakan
mempunya fasilitas lengkap untuk menunjang eksistensi mereka di sekolah
unggulan tersebut. Mereka mempunyai Laptop dan alat bantu belajar yang
canggih serta modern lainnya, sedangkan kondisi kontras justru kita
dapati pada si anak dari keluarga miskin. Mereka bersekolah dengan fasilitas
yang kurang layak untuk mengejar dan mengikuti jalannya proses pendidikan di
sekolahnya. Belum lagi jika kita memperhatikan masalah kondisi psikis atau
moriil mereka. Betapa bisa kita rasakan rasa tertekan yang mereka alami dengan
kondisi tersebut. Mereka berada di suatu lingkungan yang kesenjangan sosial-nya
begitu jelas terlihat dengan predikat sebagai kaum minoritas. Bagaimanapun juga
anak-anak keluarga miskin tersebut masih belum dewasa untuk menanggung baban
moriil tersebut. Nanun sebenarnya tidaklah salah jika Pemkot Surakarta
mengusahakan program tersebut. Kita ketahui bahwa banyak sekali anak-anak
miskin yang cerdas terbengkalai pendidikannya, dan tersia-siakan bakatnya hanya
karena ketiadaan biaya. Program BPMKS yang dicanangkan oleh Pemkot Surakarta
dimaksudkan agar anak-anak miskin bisa menyalurkan dan mengoptimalkan potensi
atau bakat yang merekan miliki di sekolah-sekolah unggulan yang berkualitas.
Mungkin Pemkot Surakarta, khususnya Disdiknas Surakarta perlu untuk
menempuh alternatif yang lain kaitannya dengan usaha pengoptimalan bakat dan
kecerdasan anak-anak miskin tanpa harus memberikan beban materiil maupun
moriil. Misalnya saja pengalokasian dana khusus untuk membangun sekolah
unggulan yang penuh dengan fasilitas sebagai penunjang proses pendidikan (full
of facilities) khusus untuk anak-anak miskin yang berbakat dan berprestasi.
Dengan demikian, anak-anak kaum miskin khususnya yang mempunyai banyak potensi
(multi talented) bisa bersekolah secara nyaman tanpa beban materiil dan
moriil. Sedangkan anak-anak keluarga miskin yang kapasitas akademik-nya pada level
normal atau rata-rata, bisa tetap besekolah di sekolah-sekolah non unggulan
dengan jalur program BPMKS seperti yang sudah dijalankan oleh Pemkot Surakarta.
Untuk kedepannya, Pemkot Surakarta perlu mengembangkan dan mencoba
alternatif kebijakan pendidikan yang lainnya dalam rangka menjaga konsistensi
memajukan pendidikan di daerah. Tentunya kebijakan-kebijakan yang diambil
adalah kebijakan yang telah direncanakan secara matang dan dapat
diimplementasikan dengan baik. Karena bagaimanapun juga sebuah rencana kebijakan
sebaik apapun tidak berarti apa-apa jika tanpa implementasi yang baik pula.
Itulah alasan implementasi dijadikan aspek yang melekat pada suatu rancangan
kebijakan. Implementasi merupakan tahapan yang kompleks. Kompleksitas
implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi
yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh
variabel yang kompleks, baik variabel individual maupun variabel
organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling
berinteraksi satu sama lain. (Subarsono: 2005: 89)
Dalam usaha implementasi segala kebijakan yang akan diambil nanti
pun Pemkot Surakarta harus berhati-hati. Segala faktor dan resiko yang mungkin
terjadi harus di-antisipasi sedini mungkin. Menurut teori Merrile S. Grindle
(1980), menyebutkan bahwa variabel implementasi kebijakan antara lain (1). Isi
Kebijakan (2). Variable lingkungan implementasi. Isi kebijakan mencakup sejauhmana
kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang
diterima oleh target group dan sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan. Sedangkan variabel lingkungan meliputi seberapa besar kekuasaan,
kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, karakteristik institusi, rezim yang berkuasa dan
tingkat kepatuhan. Hal-hal tersebut diataslah yang patut untuk dijadikan bahan
pertimbangan nantinya oleh Pemkot Surakarta.
Pemkot Surakarta memang berambisi besar untuk menempuh
kebijakan-kebijakan pendidikan dalam upayanya untuk mewujudkan program
pendidikan gratis, sebagaimana telah menjadi kewajiban mutlak yang harus
dipenuhi oleh walikota Surakarta saat
ini, Bapak Jokowi, seperti janji kampanye mereka dahulu. BPMKS merupakan
langkah awal untuk merealisasikan janji tersebut. Namun segala perdebatan yang
terjadi atas keraguan keefektifan program tersebut, Pemkot Surakarta hendaknya
juga turut mengevaluasinya. Jika program tersebut dapat diperbaiki proses pengelolaan
dan keefektifannya, maka tidak menjadi masalah jika tetap dipertahankan,
dilanjutkan dan dikembangkan. Namun, jika keadaan justru mengindikasikan
situasi sebaliknya, Pemkot Surakarta hendaklah bergegas untuk merencanakan dan
memilih program pendidikan baru yang lebih efektif dan efisien serta langsung
bisa dirasakan dampaknya oleh kalangan peserta didik daerah Surakarta pada
umumnya, dan peserta didik dari keluarga masyarakat miskin pada khususnya.
by: Wuri Prasasti
by: Wuri Prasasti